Tipologi Hubungan Sains dan Agama

Ada empat tipologi hubungan sains dan agama
1. Tipologi Konflik
     Agama dan Ilmu pengetahuan itu saling bertentangan. Dianut oleh kelompok materialisme ilmiah dan literalisme kitab suci. Dalam konflik pertentangan dipetakan dalam 2 bagian yang berseberangan:

a. Matrealisme Ilmiah
Keyakinan agama tidak dapat diterima karena agama bukanlah data yang dapat diuji dengan percobaan. Sains bersifat obyektif, terbuka, dan progresif sedangkan islam bersifat tertutup, subyektif dan sangat sulit berubah.

b. Liberalisme Ilmiah
Teori ilmiah melambungkan filsafat matrealisme dan merendahkan perintah moral Tuhan.

2. Tipologi Independensi
Tidak perlu terjadi konflik antara sains dan agama, karena keduanya berada didomain yang
berbeda. Sains sebagai kajian atas alam sedangkan agama sebagai rangkaian aturan
berperilaku.

3. Tipologi Dialog
Mencari hubungan antara (metodologis dan konseptual) antara sains dan agama, kemiripan
dan perbedaanya.

4. Tipologi Integrasi
Mencari Titik temu antara sains dan agama. Ada tiga versi yaitu :
a. Natural Theology
Menjadikan alam sebagai sarana untuk mengenal Tuhan.

b. Theology of Nature
Perumusan ulang tradisi keagamaan dengan sinaran sains modern.

c. Sintesis Sistematis
Sintessa integrasi sains dan agama yang disistematisasikan melalui filsafat proses.


       Agama dan Sains tidak selamanya berada dalam pertentangan dan ketidaksesuaian. Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antara keduanya. Sekelompok orang berpendapat agama tidak mengarahkan pada jalan yang dikehendakinya dan agama juga tidak memaksakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Kelompok lain berpandapat bahwa sains dan agama tidak akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda dan berdiri sendiri, memiliki wilayah yang terpisah baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, serta peran yang dimainkan. 

1. Tipologi Ian G. Barbour
a. Konflik

    Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Menolak agama dan menerima sains, ata sebaliknya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing. Agama dan sains adalah dua ekstrem yang saling bertentangan, saling menegasikan kebenaran lawannya. 

      Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama. (Barbour, 2006 : 224). 

Dalam konflik pertentangan dipetakan dalam 2 bagian yang berseberangan :
§ Materialisme ilimiah
Asumsi : menganggap bahwa materi sebagai realita dasar alam (pentingnya realitas empiris), sekaligus meyakini bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya cara yang sahih untuk mendapatkan pengetahuan. 

§ Literalisme kitab suci
Satu-satunya sumber kebenaran adalah kitab suci, karena dianggap sebagai sekumpulan wahyu yang bersifat kekal dan benar karena bersumber dari Tuhan, sehingga tak memungkinkan bersumber dari yang lain termasuk alam semesta.


b. Independensi

Memisahkan agama dan sains dlam wilayah yang berbeda, memiliki bahasa yang berbeda, berbicara mengenai hal-hal yang berbeda, berdiri sendiri membangun independensi dan otonomi tanpa saling mempengaruhi. Agama mencakup nilai-nilai, sedangkan sains berhubungan dengan fakta. Dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domian yang dirujuk dan metode yang digunakan. 

Menurut Barbour (2006 : 66), Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi, demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi. 

Barbour mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan karakter unik dari sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa puas dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak koheren. 

Agama dan sains adalah dua domain yang terpisah yakni agama atau Tuhan hanya dapat dikenal sebagaimana yang diwahyukan, tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Sedangkan sains dapat dikenali melalui fenomena dan empiris. Sains dibangun berdasarkan pengamatan dan penalaran manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu. 

Sains dan agama ditafsirkan sebagai dua bahasa yang tidak saling berkaitan karena fungsi masing-masing berbeda. Bahasa agam adalah seperangkat pedoman yang menawarkan jalan hidup yang berprinsip pada moral tertentu, sedangkan sains dianggap sebagai serangkaian konsep untuk memprediksi dan mengontrol alam.


c. Dialog 
       Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan. Namun, dialog tidaak menawarkan kesatuan konseptual sebagaimana diajukan pandangan integrasi. Mengutamakan tingkat kesejajaran antara sains dan agama. 

Dialog menekankan kemiripan dalam pra anggapan, metode dan konsep. 
§ Pra anggapan dan pertanyaan batas 
Memunculkan pertanyaan batas, mengajukan pertanyaan fundamental, ilmuwan dan agamawan dapat bekerja sama untuk menjelaskan. 

§ Kesamaan metodologis dan konseptual 
Sains tak selamanya obyektif, agama tidak selamanya subyektif. 

     Barbour (2006 : 32) memberikan contoh masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing. 

        Dalam menghubungkan agama dan sains, pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan bahwa “Religion without science is blind : science without religion is lame“. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh. Demikian pula pendapat David Tracy, seorang teolog Katolik yang menyatakan adanya dimensi religius dalam sains bahwa intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur pengalaman manusiawi (Barbour, 2006 : 76). 

d. Integrasi 

          Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman. 
       Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Barbour menjelaskan tentang hubungan integrasi ini ( Ian G. Barbour, 2006 : 42 ) 

2. Tipologi versi John Haught (1995) 
        Menurut Haught, hubungan agama dan sains diawali dengan titik konflik antara agama dan sains untuk mengurangi konflik, dilakaukan pemisahan yang jelas batas-batas agama dan sains agar tampak kontras / perbedaaan keduanya. Jika batas keduanya sudah terlihat, langkah berikutnya adalah mengupayakan agar keduanyaberdialog / kontak. Setelah tahap ini dapat ditemukan kesamaan tujuan yaitu mencapai pemahaman yang benar tentang alam, selanjutnya antara agama dan sains saling melengkapi / konfirmasi.

Sumber : 

Bakar, Osman, 1994, Tauhid & Sains : Essai-essai tentang sejarah dan Filsafat Islam Sains, Bandung : Pustaka Hidayah
Barbour, Ian G, 2006, Isu dalam Sains dan Agama, Yogyakarta : penerbit Uin Sunan Kalijaga Yogakarta.http://catatan-nasya.blogspot.com/2012/01/hubungan-agama-dan-sains.html 
http://efilaila.wordpress.com/category/islam-dan-sains/page/2/

Penulis : BaseKepoCamp ~ Sebuah blog yang menyediakan berbagai macam informasi

Artikel Tipologi Hubungan Sains dan Agama ini dipublish oleh BaseKepoCamp pada hari Jumat, 09 November 2012. Semoga artikel ini dapat bermanfaat.Terimakasih atas kunjungan Anda silahkan tinggalkan komentar.sudah ada 0 komentar: di postingan Tipologi Hubungan Sains dan Agama
 

0 komentar:

Posting Komentar