Islam dan Sains

PASANG SURUT HUBUNGAN ISLAM DAN SAINS

          Pada masanya islam merupakan pusat dari ilmu pengetahuan, namun sekarang ini pusat ilmu pengetahuan ada di bangsa barat. Awal mula pasang surut islam dikarenakan banyaknya faktor yang mendukung diantaranya sebagai berikut : 
  • Dalam Islam, hubungan agama (Islam) dan sains tidak lepas dari fakta sejarah kejayaan dan kemunduran sains dalam peradaban Islam.
  • Umat Islam mulai mempelajari atau melakukan ilmiah sejak generasi pertama sampai abad ke-lima hijriyah hingga menjadikan diri mereka sebagai pelopor Ilmu pengetahuan di seluruh penjuru dunia.
  • Umat Islam telah menjadi pelopor dalam research tentang alam, sekaligus sebagai masyarakat pertama dalam sejarah ilmu pengetahuan yang melakukan experimental science atau ilmu thabi’i berdasarkan percobaan yang kemudian menjadi applied science atau technology
  • Seluruh pengetahuan, termasuk pengetahuan kealaman (sains), terdapat dalam al-Qur’an.
  • Pendapat ini didukung antara lain oleh al-Ghazali, al-Suyuti, dan Maurice Bucaile.
  • Al-Qur’an hanya sebagai petunjuk untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
  • Pendapat ini didukung antara lain oleh Ibnu Sina, al-Biruni, dan al-Haitam.
  • Islam mendorong ummatnya untuk selalu berupaya mengembangkan sains.


Contoh:
- Q.S. Al-’alaq: 1-5

Artinya:
“(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang telah menciptakan. (2) Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmu adalah Maha Pemurah. (4) Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (alat tulis) (5) Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”


- Q.S. Ali-Imran: 190-191



Artinya:
“(190) Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (191) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.


- Q.S. Al-Jatsiyah: 13

وسخر لكم ما في السماوات وما في الأرض جميعا منه إن في ذلك لآيات لقوم يتفكرون


Artinya :
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.


  • Islam menempatkan orang yang beriman dan berilmu pada derajat yang tinggi.


Contoh: Q.S. Al-Mujadilah: 11

Artinya:
"Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."


KEMAJUAN  ILMU SAINS DALAM PERADABAN ISLAM

Faktor-faktor Pendorong Kemajuan Sains dalam Peradaban Islam:
  • Universalisme : Adalah  fakta bahwa satu-satunya ikatan kebersamaan antara individu muslim adalah ikatan keyakinan dan tujuan hidup bersama.
  • Toleransi : Pemahaman kata umat tanpa diimbangi semangat toleransi hanya akan membuat ilmuwan muslim terisolasi dan tidak mampu menjadi rahmat bagi sekalian alam
  • Karakter pasar Internasional : 
    - Luasnya jaringan perdagangan dengan bangsa lain. 
    - Rihlah ilmiyah (perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan) menjadikan sains-teknologi di dunia Islam maju
  • Perhargaan terhadap sains dan saintis:
    - Peran penguasa yang dimaksud adalah adanya sikap positif penguasa dalam bentuk penghargaan terhadap sains dan saintis.
    - Hal ini antara lain ditandai oleh kebijakan penguasa untuk membangun lembaga ilmu pengetahuan seperti yang dilakukan oleh Al-Ma’mun dengan berdirinya Bait al-Hikmah.
  • Keterpaduan antara tujuan dan alat/cara : 
    - Para saintis muslim mempunyai kesadaran untuk menyeimbangkan antara tujuan dengan cara pencapaiannya.
    -  Sains dan nilai (etika atau moral) berjalan bersamaan.
    (Sumber: Disertasi Bapak Muqowwim, Dosen Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga)

KEMUNDURAN SAINS
  • Salah satu faktor kemunduran sains dalam peradaban Islam adalah konflik (antara Islam dan Sains).
  • Islam banyak berkonflik dengan sains pada masa akhir kemunduran sains Islam yang berlanjut hingga kemunculan sains modern (Newton).
  • Sejarah mencatat benturan sains pada masa peradaban Islam terjadi saat ulama besar Imam al-Ghazali menyerukan umat Islam untuk kembali meng’hidup’kan ajaran agama melalui bukunya ‘Ihya Ulumiddin’.
  • Kesalahan memahami fatwa ulama tersebut pada akhirnya mempengaruhi cara pandang umat Islam terhadap Ilmu pengetahuan yang pada saat itu telah berkembang dengan pesat.
  • Umat Islam mulai meninggalkan budaya mempelajari Sains dan berpindah menekuni Agama (Islam).
  • Dampak: terjadi ketimpangan posisi ilmu. Ilmu agama secara sosial-politik lebih baik daripada ilmu umum (ilmu umum berstatus sebagai pelengkap).


    sumber : 

  • http://cgeduntuksemua.blogspot.com/2011/11/pasang-surut-hubungan-islam-dan.html http://mashobih.blogspot.com/2011/01/quran-hadits-kelas-11-smk.html
    http://artiquran.wordpress.com/2011/02/19/surat-al-jatsiyah-ayat-11-s-d-20/
READMORE
 

PARADIGMA INTEGRASI-INTERKONEKSI UIN SUNAN KALIJAGA

             Bagi kalangan intelektual muslim khususnya di Indonesia sudah tidak asing lagi dengan istilah konsep integrasi dan interkoneksi, apalagi bagi mahasiswa UIN (Universitas Islam Negeri) di Indonesia, kedua istilah ini sudah menjadi bahan pembicaraan rutin dalam forum diskusi formal maupun informal di lingkungan kampus. Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta misalnya, istilah integrasi dan interkoneksi sudah diperkenalkan sejak mahasiswa mengikuti sosialisasi pembelajaran dan sosialisasi kurikulum. Akan tetapi satu hal yang disayangkan adalah familiernya mahasiswa dengan istilah integrasi interkoneksi ini tidak diikuti dengan pemahaman yang komperehensif terhadap kedua istilah tersebut. Akibatnya konsep integrasi interkoneksi yang menjadi pijakan UIN dalam mengembangkan ciri khas keilmuannya seakan hanya menjadi wacana dan belum aplikatif di kalangan mahasiswa khususnya, walaupun ada kemungkinan juga terjadi di kalangan sebagian tenaga pendidiknya. Di sisi lain alasan kewajaran bisa diberikan karena transformasi IAIN menjadi UIN juga belum terlalu lama, akan tetapi sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengusung konsep integrasi dan interkoneksi hendaknya lebih cepat dalam mengembangkan pemahaman konsep ini di kalangan internal sebelum mensosialisasikan kepada kalangan eksternal kampus. Maka dalam hal ini akan kita ulas mengapa konsep integrasi interkoneksi masih sulit dipahami dan tulisannya hanya menjadi penghias di buku-buku kurikulum (filosofis kata-katanya tetapi tidak dimengerti maknanya).
            Sampai saat ini konsep integrasi interkoneksi masih menjadi salah satu jargon utama di kalangan intelektual muslim kelas atas, sebutlah salah satunya Prof. Dr. H. Amin Abdullah dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau menggambarkan konsep integrasi interkoneksi ini dengan visualisasi jaring laba-laba keilmuan (scientific spider web) sebagai miniatur sederhana agar lebih mudah untuk dipahami. Hal mendasar yang perlu dimengerti terlebih dahulu adalah konsep integrasi interkoneksi merupakan sebuah paradigma mendasar dalam struktur keilmuan keIslaman yang sedang dibangun kembali untuk menyeimbangkan struktur keilmuan yang sudah mulai timpang sejak runtuhnya kekuasaan Turki Usmani. Jadi sebenarnya konsep keilmuan integrasi interkoneksi ini telah berkembang pada beberapa abad yang lalu dan terbukti dapat memberikan nilai keseimbangan dalam kehidupan manusia dari berbagai segi kehidupan. Fakta ini dapat dilihat dalam sejarah abad pertengahan pada masa kejayaan Islam dan ilmu pengetahuan, dimana ilmu keagamaan Islam dan ilmu pengetahuan alam dan sosial dapat berkembang bersama tanpa harus saling terpisah apalagi sampai timbul konflik di antaranya. Pada akhirnya konsep seperti ini dirubah oleh para ilmuwan barat dengan mendikhotomikan beberapa bidang keilmuan. Hal ini disebabkan oleh dogma gereja yang selalu keras bertentangan dengan ilmu pengetahuan, maka akhirnya munculah sekat (gap) yang memisahkan para penganut gereja dengan para ilmuwan pada saat itu. Bagi para ilmuwan yang menentang dogma gereja berpendapat bahwa agama adalah candu yang hanya menyisakan keterbelakangan ilmu. Sejak itulah paradigma yang dikhotomis dalam struktur keilmuan muncul, dan parahnya paradigma inilah yang kita adopsi dari barat melalui berbagai ilmu pengetahuan alam dan sosial yang mereka kembangkan.
Jadi secara teoritis konsep keilmuan yang integratif interkonektif adalah konsep keilmuan yang terpadu dan terkait antara keilmuan agama (an-nash) dengan keilmuan alam dan sosial (al-ilm) dengan harapan akan menghasilkan sebuah out put yang seimbang etis filosofis (al-falsafah). Jadi hubungan antara bidang keilmuan tidak lagi terjadi konflik tetapi saling menghargai dan membangun, bidang keilmuan satu sama lain saling mendukung. Misalnya bagaimana keilmuan sains dan teknologi dapat mendukung eksistensi keilmuan agama, begitu juga sebaliknya. Sehingga dalam hal ini tidak lagi dijumpai ilmu agama bertentangan dengan ilmu alam atau ilmu alam bertentangan dengan ilmu etika misalnya. Pada dasarnya yang ingin dibangun kembali adalah paradigma yang salah dalam melihat struktur keilmuan secara utuh. Dalam Islam secara alamiah (sunnatullah) berkeyakinan bahwa tidak ada yang salah dengan struktur keilmuan yang sudah ada sejak zaman dahulu, hanya saja pandangan ilmuwan yang serba terbatas seringkali merubah tatanan keilmuan menjadi dikhotomis berdasarkan latar belakang dan kepentingan ilmuwan tersebut. 
Sedikit sulit bagi kita dalam memahami sebuah paradigma yang sangat abstrak ini, akan tetapi konsep integrasi interkoneksi adalah paradigma yang bisa divisualisasikan dalam kehidupan kita. Sebenarnya di kalangan akademisi sendiri masih belum banyak dipahami tentang indikator keberhasilan dalam penerapan konsep integrasi interkoneksi ini, sehingga belum diketahui titik evaluasi yang harus diperbaiki. Untuk memahami konsep integrasi interkoneksi dalam praktek keseharian kita, maka saya akan menggunakan tiga kata kunci entitas yang diadopsi dari konsep keterpaduan ilmu oleh Prof. Dr. H. Amin Abdullah, yaitu nash (keagamaan), ilmu (alam dan sosial), dan falsafah (etika). Rumusnya adalah jika kita telah berhasil memadukan dan menyeimbangkan ketiga entitas di atas dalam berbagai segi kehidupan, maka kita telah berhasil menghilangkan gap dikhotomis di antaranya. Makna memadukan dan menyeimbangkan di sini adalah mengkaitkan tanpa mengacuhkan kepentingan ketiganya. 
Berikut landasan-landasan integrasi-interkoneksi:
>Normatif-Teologis
cara memahami sesuatu dengan menggunakan ajaran yang diyakini berasal dari Tuhan sebagaimana terdapat di dalam wahyu yang diturunkan-Nya. Surat Al-Qashash ayat ke-77 ==> kita tidak boleh memisahkan antara kepentingan kehidupan akherat (ilmu-ilmu agama) dan kepentingan kehidupan di dunia. Yunus, ayat 101 ; al-Ghosiyah, ayat ke-17–20
>Filosofis
Integrasi-interkoneksi merupakan jembatan untuk memahami kompleksitas hidup manusia.
>Kultural
Apabila basis kultural (budaya/potensi lokal) tidak dijadikan basis pengembangan keilmuan agama dan umum, maka akan terjadi proses elitisme ilmu agama dan elitisme ilmu umum, sehingga ilmu umum dan agama kurang berfungsi dalam kehidupan nyata.
>Sosiologis
Melihat masalah secara lebih utuh untuk menyelesaikan masalah masyarakat.
>Psikologis
Dapat terjadi konflik antara apa yang diyakini dengan apa yang dipikirkan dan juga dengan apa terjadi dalam realitas kehidupan.
>Historis
Pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum harus berjalan beriringan, tidak boleh satu disiplin ilmu mendominasi disiplin ilmu yang lain.
Dengan memadukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, tujuan akhir dari ilmu pengetahuan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan menjaga kelestarian alam, dapat tercapai.

READMORE
 

HUBUNGAN ISLAM DAN SAINS

        Cerita tentang hubungan antara Islam dan sains dapat dipandang dari berbagai perspektif, mulai dari sosiologis ke sejarah dan dari metafisik ke ilmiah. Metodologi yang digunakan untuk cerita ini tergantung tentang bagaimana seseorang mempersepsi sifat hubungan antara Islam dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, penting sekali memperhatikan keadaan awal di mana akan diceritakan dalam buku ini.
     Pertanyaan tentang perspektif dan metodologi menjadi lebih penting dalam beberapa tahun terakhir, karena sejumlah besar kerja teoritis diterbitkan oleh para sarjana yang bekerja di bidang ilmu pengetahuan dan Kristen di Barat telah membentuk suatu model tertentu untuk menyelidiki isu yang berkaitan dengan interaksi antara ilmu pengetahuan dan agama, dan model ini tampaknya telah mendapatkan penerimaan umum. Model ini dapat disebut “entitas dua model”, ilmu pengetahuan dan agama dijadikan sebagai dua entitas yang terpisah. Kedua entitas ini yang secara definitif berbeda kemudian terpisah satu sama lain dan memungkinkan berbagai modus interaksi, seperti “konflik”, “independensi”, “dialog”, dan “integrasi” (Barbour, 2000).
     Bagaimanapun, varietas ini adalah dalam model dua entitas; dengan kata lain, cara ini menjelaskan hubungan antara sains dan agama dengan menganggap bahwa “ilmu” dan “agama” adalah dua entitas terpisah yang memiliki sejumlah kemungkinan mode interaksi. Masing-masing mode dapat dibagi lagi menjadi berbagai kemungkinan klasifikasi dan dinilai menurut tingkat interaksi yang kuat atau lemah, tetapi model itu sendiri masih berlabuh di dasar paradigma yang menganggap entitas dua fenomena yang terpisah dan berbeda.
        Model dua entitas berkembang dari latar belakang budaya, sejarah, dan nilai ilmiah tertentu, serta didukung oleh episode sejarah dari interaksi antara sains dan Kristen di dunia Barat. Akan tetapi, sekarang sedang diklaim bahwa model ini bersifat universal dan dapat digunakan untuk memahami hubungan antara semua tradisi ilmiah dan semua agama (Barbour, 2002).
      Walaupun model ini telah dikritik karena memiliki kekurangan, kritik itu sendiri sebagian besarnya masih dalam kerangka dua entitas (Cantor dan Kenny, 2001). Karena ilmu pengetahuan seperti yang kita mengerti hari ini umumnya dianggap buah dari Revolusi Ilmiah Eropa pada abad ketujuh belas dan karena tradisi ilmiah ini secara khusus memiliki serangkaian konflik dengan Kristen, maka “model konflik” mendapatkan kredibilitas di dunia ilmiah serta dalam pikiran umum. Selain itu, karena ilmu pengetahuan diperanakkan oleh Revolusi Ilmiah Eropa sekarang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia, maka sejarah interaksi antara ilmu pengetahuan dan agama juga disertai dengan pemahaman tersebut: penyesuaian hanya dianggap penting oleh agama Kristen, Islam, atau agama-agama lain di dunia.
       Salahnya lagi, model ini diterapkan pula untuk interaksi historis antara berbagai agama dan filsafat—misalnya, tradisi ilmiah Yunani, Romawi, dan Islam. Hal demikian telah menjadi kebiasaan untuk mencari contoh konflik atau kooperatifnya antara Islam dan tradisi ilmiah yang muncul dalam peradaban Islam. Pendekatan ini tidak membuat perbedaan antara ilmu pengetahuan pramodern dan modern sejauh landasan filosofis mereka tidak berbeda jauh, meskipun terdapat perbedaan mendasar antara pandangan dunia yang melahirkan dua tradisi ilmiah.
        Dengan latar belakang ini, terlebih dahulu kita harus mengajukan pertanyaan mendasar: apakah model dua entitas yang muncul dari latar belakang budaya, sejarah, dan ilmiah tertentu benar-benar berlaku untuk semua agama dan semua tradisi ilmiah?

Model ini hanya dapat berlaku untuk semua tradisi ilmiah dan keagamaan jika:
1. Sifat subyek ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Tuhan dan manusia harus dipahami dengan cara yang sama dalam semua tradisi agama;
2. Sumber teks-teks dasar dari semua agama adalah sejajar dengan kitab sucinya dalam struktur epistemologis, metafisik, dan semantik; dan
3. Dasar-dasar ilmu pengetahuan di semua peradaban adalah sebuah elemen yang tetap sama selama berabad-abad.
              Bagaimanapun, pada saat sekarang istilah ilmu tidak memiliki definisi universal yang dapat diterima (Ratzsch, 2000:11). Selanjutnya, pengertian alam maupun ilmu pengetahuan atau hubungan timbal balik mereka diseragamkan di seluruh tradisi keagamaan atau dalam tradisi tunggal selama berabad-abad. Model dua entitas menjadi sangat bermasalah ketika kita mempertimbangkan perkembangan nilai dalam sejarah filsafat ilmu. Kebanyakan filsuf sepakat bahwa apa yang sekarang kita kenal dengan istilah ilmu bukan sebuah label homogen yang dapat diterapkan pada penyelidikan alam dalam semua era dan semua peradaban: yaitu, istilah ilmu terletak pada sejumlah konseptual khas peradaban yang dibentuk oleh etos sosial, budaya, dan sejarah dari peradaban tertentu. Apa yang dikenal sebagai ilmu pengetahuan hari ini umumnya dipahami sebagai entitas yang dimulai pada abad ketujuh belas, dibangun di atas teori dan eksperimen spektakuler oleh Galileo (1564-1642), Kepler (1571-1630), dan Newton (1642-1727), dan kemudian mengakar kuat di lembaga-lembaga sosial, ekonomi, akademik, dan budaya peradaban Barat. Bahkan, kemunculan tradisi ilmiah ini telah mengubah konsep ilmu pengetahuan yang ada sebelum abad ke tujuh belas. Banyak sejarawan kontemporer cenderung menyatakan ilmu pengetahuan yang muncul sebelum abad ketujuh belas dengan istilah kegiatan ilmiah dan sejak dua ribu tahun pada masa Yunani sebagai “Filsafat Alam”.

READMORE
 

Strategi Pengembangan Sains-Teknologi di Dunia Islam


Strategi pengembangan sains teknologi di dunia islam pada masa kini dan mendatang salah satunya adalah dengan cara Menciptaan paradigma baru tentang sains dan teknologi, paradigma yang dimaksud adalah cara pandang terhadap sains dan teknologi, studi sains dan teknologi menjadi bagian dari studi Islam (ontologi, epistemologi, dan aksiologi), paradigma ini tidak lagi memisahkan sains dan teknologi dalam posisi yang diametral dengan agama, tetapi sains-teknologi bagian dari agama.

1. Ontologi Sains dan Teknologi
Bahwa secara ontologis, untuk memahami Allah SWT, dapat dilakukan melalui ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah., lebih dari 750 ayat al-Qur’an membahas tentang fenomena alam

2. Epistemologi Sains dan Teknologi
Bayani
Epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah wahyu (teks) atau penalaran dari teks, seperti ilmu hadis, fikih, ushul fikih, dan lainnya. Saintis dan teknokrat muslim harus menjadikan teks al-qur’an dan al-sunnah sebagai sumber inspirasi, Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak boleh hanya dikaji secara literal sebab konteks ayat/hadits tentang fenomena alam yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits cenderung menggambarkan kondisi masyarakat Arab.
Burhani
Saintis dan teknokrat muslim harus membiasakan diri melakukan perenungan, pengamatan, verifikasi, eksplorasi dan eksperimen tentang fenomena alam di sekitarnya. Epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi. Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk.
Irfani
Epistemologi yang beranggapan bahwa ilmu pengetahuan adalah kehendak. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan, yaitu kasyf. Metode ini sangat unique karena tidak bisa dirasionalkan dan diperdebatkan. Penganut epistemologi ini adalah para sufi, oleh karenanya teori-teori yang dikomunikasikan menggunakan metafora dan bukan dengan mekanisme bahasa yang definite (nyata). (http://sanadthkhusus.blogspot.com). Paradigma ‘irfani terkait dengan sikap dan aspek esoterik saintis dalam mensikapi suatu fenomena alam, sains tidak boleh untuk dirinya sendiri terdapat misi kekhalifahan manusia di bumi, kajian sains dan teknologi tidak akan membawa kepada kerusakan alam

3. Aksiologi Sains dan Teknologi
Sains dan teknologi harus dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT.
Sains dan teknologi harus bisa mencerminkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil‘aalamiin).

Kemudian strategi yang kedua untuk pengembangan sains dan teknologi saat ini adalah dengan mengandalkan kebijakan pemerintah yang pro pengembangan sains dan teknologi, jadi pemerintah sangat berperan penting dalam perkembangan sains dan teknologi karna pemerintaah juga bertanggung jawab atas pendidikan yang ada di bangsa ini, langkah-langkah yang bisa dilakukan adalah pertama tentunya melalui politik kemudian meminta kebijakan pemerintah seteleh itu mengimplementasikannya di bidang pendidikan, karena sains dan teknologi tidak mungkin bisa dicapai tanpa melalui pendidikan.

Politik --> Kebijakan --> Implementasi --> Pendidikan


Sumber : http://guardyan.blogspot.com/2012/11/strategi-pengembangan-sains-dan.html
READMORE
 

Tipologi Hubungan Sains dan Agama

Ada empat tipologi hubungan sains dan agama
1. Tipologi Konflik
     Agama dan Ilmu pengetahuan itu saling bertentangan. Dianut oleh kelompok materialisme ilmiah dan literalisme kitab suci. Dalam konflik pertentangan dipetakan dalam 2 bagian yang berseberangan:

a. Matrealisme Ilmiah
Keyakinan agama tidak dapat diterima karena agama bukanlah data yang dapat diuji dengan percobaan. Sains bersifat obyektif, terbuka, dan progresif sedangkan islam bersifat tertutup, subyektif dan sangat sulit berubah.

b. Liberalisme Ilmiah
Teori ilmiah melambungkan filsafat matrealisme dan merendahkan perintah moral Tuhan.

2. Tipologi Independensi
Tidak perlu terjadi konflik antara sains dan agama, karena keduanya berada didomain yang
berbeda. Sains sebagai kajian atas alam sedangkan agama sebagai rangkaian aturan
berperilaku.

3. Tipologi Dialog
Mencari hubungan antara (metodologis dan konseptual) antara sains dan agama, kemiripan
dan perbedaanya.

4. Tipologi Integrasi
Mencari Titik temu antara sains dan agama. Ada tiga versi yaitu :
a. Natural Theology
Menjadikan alam sebagai sarana untuk mengenal Tuhan.

b. Theology of Nature
Perumusan ulang tradisi keagamaan dengan sinaran sains modern.

c. Sintesis Sistematis
Sintessa integrasi sains dan agama yang disistematisasikan melalui filsafat proses.


       Agama dan Sains tidak selamanya berada dalam pertentangan dan ketidaksesuaian. Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antara keduanya. Sekelompok orang berpendapat agama tidak mengarahkan pada jalan yang dikehendakinya dan agama juga tidak memaksakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Kelompok lain berpandapat bahwa sains dan agama tidak akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda dan berdiri sendiri, memiliki wilayah yang terpisah baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, serta peran yang dimainkan. 

1. Tipologi Ian G. Barbour
a. Konflik

    Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Menolak agama dan menerima sains, ata sebaliknya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing. Agama dan sains adalah dua ekstrem yang saling bertentangan, saling menegasikan kebenaran lawannya. 

      Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama. (Barbour, 2006 : 224). 

Dalam konflik pertentangan dipetakan dalam 2 bagian yang berseberangan :
§ Materialisme ilimiah
Asumsi : menganggap bahwa materi sebagai realita dasar alam (pentingnya realitas empiris), sekaligus meyakini bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya cara yang sahih untuk mendapatkan pengetahuan. 

§ Literalisme kitab suci
Satu-satunya sumber kebenaran adalah kitab suci, karena dianggap sebagai sekumpulan wahyu yang bersifat kekal dan benar karena bersumber dari Tuhan, sehingga tak memungkinkan bersumber dari yang lain termasuk alam semesta.


b. Independensi

Memisahkan agama dan sains dlam wilayah yang berbeda, memiliki bahasa yang berbeda, berbicara mengenai hal-hal yang berbeda, berdiri sendiri membangun independensi dan otonomi tanpa saling mempengaruhi. Agama mencakup nilai-nilai, sedangkan sains berhubungan dengan fakta. Dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domian yang dirujuk dan metode yang digunakan. 

Menurut Barbour (2006 : 66), Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi, demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi. 

Barbour mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan karakter unik dari sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa puas dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak koheren. 

Agama dan sains adalah dua domain yang terpisah yakni agama atau Tuhan hanya dapat dikenal sebagaimana yang diwahyukan, tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Sedangkan sains dapat dikenali melalui fenomena dan empiris. Sains dibangun berdasarkan pengamatan dan penalaran manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu. 

Sains dan agama ditafsirkan sebagai dua bahasa yang tidak saling berkaitan karena fungsi masing-masing berbeda. Bahasa agam adalah seperangkat pedoman yang menawarkan jalan hidup yang berprinsip pada moral tertentu, sedangkan sains dianggap sebagai serangkaian konsep untuk memprediksi dan mengontrol alam.


c. Dialog 
       Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan. Namun, dialog tidaak menawarkan kesatuan konseptual sebagaimana diajukan pandangan integrasi. Mengutamakan tingkat kesejajaran antara sains dan agama. 

Dialog menekankan kemiripan dalam pra anggapan, metode dan konsep. 
§ Pra anggapan dan pertanyaan batas 
Memunculkan pertanyaan batas, mengajukan pertanyaan fundamental, ilmuwan dan agamawan dapat bekerja sama untuk menjelaskan. 

§ Kesamaan metodologis dan konseptual 
Sains tak selamanya obyektif, agama tidak selamanya subyektif. 

     Barbour (2006 : 32) memberikan contoh masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing. 

        Dalam menghubungkan agama dan sains, pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan bahwa “Religion without science is blind : science without religion is lame“. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh. Demikian pula pendapat David Tracy, seorang teolog Katolik yang menyatakan adanya dimensi religius dalam sains bahwa intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur pengalaman manusiawi (Barbour, 2006 : 76). 

d. Integrasi 

          Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman. 
       Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Barbour menjelaskan tentang hubungan integrasi ini ( Ian G. Barbour, 2006 : 42 ) 

2. Tipologi versi John Haught (1995) 
        Menurut Haught, hubungan agama dan sains diawali dengan titik konflik antara agama dan sains untuk mengurangi konflik, dilakaukan pemisahan yang jelas batas-batas agama dan sains agar tampak kontras / perbedaaan keduanya. Jika batas keduanya sudah terlihat, langkah berikutnya adalah mengupayakan agar keduanyaberdialog / kontak. Setelah tahap ini dapat ditemukan kesamaan tujuan yaitu mencapai pemahaman yang benar tentang alam, selanjutnya antara agama dan sains saling melengkapi / konfirmasi.

Sumber : 

Bakar, Osman, 1994, Tauhid & Sains : Essai-essai tentang sejarah dan Filsafat Islam Sains, Bandung : Pustaka Hidayah
Barbour, Ian G, 2006, Isu dalam Sains dan Agama, Yogyakarta : penerbit Uin Sunan Kalijaga Yogakarta.http://catatan-nasya.blogspot.com/2012/01/hubungan-agama-dan-sains.html 
http://efilaila.wordpress.com/category/islam-dan-sains/page/2/
READMORE
 

Sejarah Hubungan Agama dan Sains


Pola Konflik Agama dan Sains
· Galileo (Abad ke-15 M)
· Newton (Abad ke-17 M)
· Darwin (Abad ke-19 M)
· Einstein (Abad ke 20 M)

Konflik Agama dan Sains
Konflik antara agama dan sains telah dimulai sejak abad 15, ketika Galileo menentang paham geosentris (bumi merupakan pusat tata surya) yang dianut oleh gereja.
• Galileo dianggap mengingkari keyakinan agamanya (kristen) bahwa bumi adalah pusat edar tata surya.
• Ketaksesuaian agama dan sains berlanjut hingga masa sesudahnya (masa Newton / masa sains modern).

Transformasi Sains
Sejarah sains Eropa masa kebangkitan (abad 14 dan 15) mencatat bahwa sains muncul tidak hanya dalam rangka melepaskan hegemonik gereja sebagai institusi pemegang kekuasaan tertinggi, tetapi juga sebagai momentum transformasi sains ke dalam utilitas teknik (aplikasi nyata).


Sains Modern
• Para ahli sejarah sepakat bahwa sejarah perkembangan sains modern beserta aplikasi teknologi yang ada  sekarang diawali oleh Newton (mekanika klasik).
• Mekanika klasik Newton berdampak besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan saat itu.
• Konsep mekanika klasik Newton bersifat mekanistik deterministik (apabila kondisi awal dari sesuatu dapat ditentukan, maka kondisi berikutnya dapat diprediksi secara tepat).
Dampak Positif Paradigma Newton
Paradigma Newton
Revolusi Industri (Inggris, abad ke-17) dengan penemuan mesin tenun dan mesin cetak
Tahapan Industri
  • Mekanisasi (abad ke-17)
  • Energisasi (abad ke-18)
  • Optimalisasi (abad ke-18 s.d. ke-19)
  • Otomatisasi (abad ke-19 s.d. Ke-20)
Penciptaan Alam Semesta
  • Ada dengan tidak sendirinya
  • Sesuai dengan agama (alam semesta ada yang menciptakan)
Kehancuran Alam Semesta
  • Beberapa milyard tahun yang akan dating
sesuai perhitungan waktu peluruhan neutron (inti atom)
  • Sesuai dengan agama (alam semesta tidak kekal)
Dampak negative Paradigma Newton
  • membentuk masyarakat yang sekularistik
  • mengabaikan nilai-nilai religiusitas (mengabaikan unsur Tuhan karena merasa dapat memprediksi apa yang akan terjadi)
Puncak Konflik Agama dan Sains
  • Charles Darwin pada abad ke-19 memunculkan bukunya The Origin of Species (hanya dengan ‘menjejer dan mengurutkan’ tulang tengkorak berusaha menghubungkan secara evolusioner)
  • Temuan Darwin semakin memicu ketidakharmonisan hubungan antara ilmuwan (orang yang menekuni sains) dan agamawan (orang yang mendalami nilai dan ajaran Tuhan).
Masa Reda
Abad 20
  • Muncul paradigma baru dalam ilmu pengetahuan
  • mekanistik deterministik menjadi probabilistik relatifistik
Motor
  • Heissenberg dan Scrodinger (Teori Mekanika Kuantum)
  • Albert Einstein (konsep ruang-waktu dan energi)
Probabilistik relatifistik
  • Sesuatu memiliki banyak kemungkinan alternatif pemecahan persoalan
  • Melahirkan ilmu-ilmu baru seperti material science, mikro elektronika, kimia fisika kuantum, astrofisika, dll.
Perbedaan Paradigma dalam konsep energy-ruang-waktu
  •  Newton
Massa materi adalah kekal, ada dengan sendirinya dari dulu hingga sekarang (teori Steady State), sehingga ruang dan waktu adalah entitas yang terpisah
  •  Einstein
Ruang dan waktu adalah entitas yang terkait satu sama lain menjadi dimensi tersendiri yaitu dimensi ruang-waktu. Tanpa ada ruang maka tidak akan ada waktu
Hubungan Agama dan Sains Abad 21
  • Simbiosis Mutualisme
  • Konflik Berkurang

Sumber : http://finaalfinaa.blogspot.com/2012/11/sejarah-hubungan-agama-dan-sains_3.html
READMORE